Pada seksualitas selalu melekat aturan-aturan yang rigid, sakral, dan bukan semata melegalkan libido. Semua agama dan kepercayaan lokal di Indonesia memiliki ritual intimacy dari mulai pernikahan hingga cara berhubungan yang diperbolehkan dan yang dilarang. Karena tujuannya memproduksi keturunan yang selaras dengan ekspektasi agama dan budaya. Demi tujuan ini keluarga diciptakan. Karena itu, kecenderungan libidinal tidak dianjurkan. Dalam Islam, Rasulullah SAW menganjurkan menikahi wanita penyayang dan subur (HR. Ibnu Hibban)
Namun narasi kebebasan dan hak asasi di era cyber society diam-diam mengancam sakralitas seksual keluarga. Childfree atau menikah tanpa anak mulai viral di linimasa kalangan milenial beberapa tahun terakhir. Apa di balik ini, Infiltrasi budaya Barat, masalah ekonomi, atau bentuk lain dari kebebasan seksual?
Tampaknya tiga aspek ini menyuburkan niat childfree bagi keluarga milenial khususnya di perkotaan. Infiltrasi budaya Barat jadi diskusi lama sekaligus kehawatiran akan wujud lain dari imprialisme budaya, kondisi ini menemukan momentumnya ke depan di era cyber society; kekuatan sosmed dapat men-dekonstruksi identitas budaya. Budaya popular seperti gaya hidup, cara berpikir, dan ekspresi seksual yang sebelumnya ajeg bisa cepat bergeser dan tercerabut. Tidak mengherankan jika tujuan menikah tidak lagi memelihara keturunan.
Childfree juga berhubungan dengan masalah ekonomi. Pada generasi tua, mungkin masih percaya falsafah “banyak anak, banyak rezeki”. Namun keluarga milenial terutama perkotaan memilih childfree, atau lebih baik menunda pernikahan jika harus memiliki anak.
Ada pergeseran persepsi generasi milenial tentang pernikahan dan hubungannya dengan kualitas hidup; status ekonomi, pendidikan dan waktu merawat anak (Musahwi, 2023; baca https://theconversation.com/resesi-seks-dan-waithood-mengapa-banyak-perempuan-pilih-menunda-menikah-210564 ). Karena itu Childfree mungkin akan terus berkembang karena ditopang oleh rasionalitas ekonomi dan ketakutan terhadap masa depan.
Pada keping yang lain (hanya kekhawatiran), childfree berkembang ke arah de-sakralisasi keluarga. Karena berkeluarga tanpa bertujuan memiliki anak mengurangi tanggungjawab, yang artinya, hanya tempat meng-ekspresikan hasrat libido pasangan tanpa ikatan emosi keluarga karena tanpa anak sekaligus tanpa peran Ayah/Ibu. Secara sosiologis, adanya keluarga karena adanya hubungan darah. Tidak adanya hubungan darah ini, memengaruhi relasi emosional.
Maka childfree (mungkin) pada akhirnya hanya menjadi tempat bagi kebebasan dan ekspresi seksual. Kecuali atas alasan medis seperti mandul atau hal lain yang menyebabkan pasangan tidak bisa memiliki anak. Karena mereka hanya diikat oleh secarik kertas sebagai bukti legalitas hubungan. Jika “bosan” atau mengalami konflik, secara psikologis sangat mudah untuk bercerai dan berpetualang libido ke lain orang dengan menikah tanpa ingin memiliki anak.
Penulis: Ihsan Sa’dudin
Editor: Suciyadi Ramdhani