Rahasia di Balik Syair Viral ‘Ṣawtu Ṣafīr al-Bulbul’: Karya Genius dari Abad ke-8

Cuplikan syair viral ‘Ṣawtu Ṣafīr al-Bulbul’. (Dok. Canva)

Syair “Ṣawtu Ṣafīr al-Bulbul” yang kini viral ternyata telah ada sejak abad ke-8. Karya ini diciptakan oleh Abdul Malik Ibnu Quraib al-Asma’i, seorang sastrawan sekaligus ilmuwan yang berjasa dalam bidang zoologi, botani, serta pemeliharaan hewan.

Al-Asma’i lahir pada 741 M di Basrah, Irak. Sejak kecil, ia dikenal memiliki semangat belajar yang luar biasa. Dengan hanya memiliki satu baju untuk mengaji dan satu baju untuk tidur, ia tetap gigih menuntut ilmu.

Setiap hari ia berangkat mengaji sejak pukul 3 pagi hingga 10 malam. Di usia belum genap 20 tahun, ia telah menghafal 16.000 kitab syair.

Syair “Ṣawtu Ṣafīr al-Bulbul” sendiri bercerita tentang keindahan alam dan perasaan seseorang yang diungkapkan melalui simbol burung bulbul, yang sering dianggap sebagai lambang keindahan.

Namun, syair ini bukan sekedar puisi biasa, melainkan juga senjata intelektual pada zamannya. Pada masa Khalifah al-Mansur (754–775 M), sastra memiliki kedudukan istimewa.

Khalifah al-Mansur dikenal memiliki daya ingat luar biasa. Ia mampu menghafal syair hanya dalam sekali mendengar, sementara dua budaknya mampu menghafalnya dalam dua hingga tiga kali mendengar.

Demi menguji kecerdasan para penyair, ia mengadakan sayembara: siapa pun yang bisa membacakan syair yang tidak dapat dihafal oleh dirinya dan kedua budaknya, akan diberi hadiah emas seberat alat yang dipakai untuk menulis syair tersebut dan syair yang dibacakan harus merupakan karya sendiri.

Mengetahui tantangan ini, Al-Asma’i pun menyusun syair yang sangat kompleks. “Ṣawtu Ṣafīr al-Bulbul” dipenuhi dengan kata-kata yang jarang digunakan serta struktur yang sulit dihafal. Ketika ia membacakannya di hadapan Khalifah dan budak-budaknya, tidak satu pun dari mereka yang mampu mengulanginya.

Fakta menarik lainnya, Al-Asma’i tidak menuliskan syairnya di atas kertas biasa, melainkan di atas tiang batu marmer. Namun seluruh harta kaum Muslimin di penyimpanan akan habis jika diberikan kepada Al-Asma’i.

Sebagai gantinya, ia menukar haknya dengan mengajukan syarat kepada Khalifah agar mengizinkan para penyair tetap dapat membacakan syair mereka, baik karya sendiri maupun karya orang lain.

Khalifah pun menyetujui permintaan itu, membuka kembali peluang bagi para penyair untuk mendapatkan penghargaan dan apresiasi atas karya-karya mereka. Kisah ini bukan hanya tentang kegeniusan seorang penyair, tetapi juga tentang kebijaksanaan dan sikap rendah hati seorang cendekiawan.

Al-Asma’i tidak hanya mengukir namanya dalam sejarah sastra Arab, tetapi juga meninggalkan warisan tentang pentingnya menghargai ilmu dan seni dalam peradaban Islam.

Siapa sangka, syair yang dulu menggetarkan istana kini mengguncang media sosial?

Dari tantangan di hadapan Khalifah hingga tren di era digital, ‘Ṣawtu Ṣafīr al-Bulbul’ membuktikan bahwa sastra bukan sekedar rangkaian kata, tapi juga warisan abadi yang terus menginspirasi lintas generasi.

Gimana menurut kamu? Keren gak kalau tren viral ternyata punya sejarah sepanjang ini?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *