Perkembangan teknologi informasi telah menawarkan ruang yang bersifat artifisial, yang disebut Cyberspace. Cyberspace nyatanya memberikan pilihan bagi manusia untuk melakukan aktivitas (politik, sosial, ekonomi, kultural, spiritual, seksuali) yang secara konvensional berada di dunia nyata ke dalam berbagai bentuk substitusi artifisialisnya, sehingga apapun yang dapat dilakukan di dunia nyata kini bisa dilakukan dalam bentuk artifialisnya di dalam Cyberspace.
Cyberspace adalah sebuah ruang imajiner yang di dalamnya setiap orang dapat melakukan apa saja yang bisa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara yang baru, yaitu cara artifisial (Piliang, 2012). Berbagai realitas sosial dan budaya kini pada akhirnya tidak lagi memiliki batas-batas yang tegas antara dunia virtual maupun dunia nyata.
Cyberspace yang terbentuk oleh jaringan komputer dan informasi yang terhubungkan secara global telah menawarkan bentuk-bentuk ‘komunitas’ sendiri (virtual community), bentuk realitasnya sendiri (virtual reality) dan bentuk ruangnya sendiri (cyberspace) .
Perkembangan Cyberspace telah mempengaruhi kehidupan sosial di dalam berbagai tingkatnya. Keberadaan Cyberspace tidak saja menciptakan perubahan sosial yang sangat mendasar, terlebih oleh berbagai pemikir dikatakan telah menggiring pada kondisi ekstrim ‘kematian sosial’ (death of the social). Terlepas dari pemikiran ekstrim ini, pengaruh cyberspace terhadap kehidupan sosial setidaknya ada pada tiga tingkatan, yaitu: tingkat individu, antar-individu dan komunitas.
Pertama, tingkat individu, Cyberspace menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman kita tentang diri (self) dan identitas (identity).
Kedua, tingkat interaksi antarindividu. Hakikat Cyberspace sebagai dunia yang terbentuk oleh jaringan (web) dan hubungan (connection), bukan oleh materi menjadikan kesalingterhubungan dan kesalingketergantungan secara virtual merupakan ciri dari dunia Cyberspace.
Meskipun Cyberspace sebuah ruang yang tanpa otoritas, sehingga setiap orang dapat melewati tanpa batas (ordeb) yang seharusnya tidak ia lewati (batas hasrat, fantasi, kesenangan, gairah). Akan tetapi, tidak ada kekuasaan (power) dan hegemoni di dalamnya. Dakwah digital dipilih menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan pemahaman moderasi beragama.
Hal ini telah memberikan perspektif baru dalam dunia dakwah. Kemudian mendayagunakan dan mengakses dakwah menjadi alasan eksistensi dakwah melalui digital. Namun, dibalik kemudahan-kemudahan yang ditawarkan ternyata terdapat kesulitan-kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi, kurang bijaknya dalam penggunaan teknologi sering kali menimbulkan dampak yang serius bagi para pengguna.
Sebagai contoh, timbulnya rasa intoleran antarsesama hingga turunnya kesadaran akan moderasi dalam beragama. Oleh karena itu keakraban generasi muda dengan media sosial dengan sangat mudah membuka peluang yang besar bagi para pendakwah khususnya dari kalangan pemuda dalam menyebarkan konten dakwah secara digital. Hal ini sangat mendukung dalam penyampain tentang pentingnya moderasi beragama guna mencegah konflik yang muncul dalam kehidupan masyarakat yang heterogen.
Menurut Qardhawani, esensi dakwah adalah bermakna membangun gerakan yang akan membawa manusia ke jalan Islam meliputi aqidah dan syariah, dunia dan negara, mental dan kekuatan fisik, peradaban dan umat, kebudayaan dan politik serta jihad menegakkan dikalangan umat islam sendiri, agar terjadi sinkronisasi antarrealitas kehidupan muslim dengan akidahnya.
Referensi:
Piliang, Y. Amir. “Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial”. Jurnal Sosioteknologi, 27(11), 2012:143-156).
Penulis: Laeli Fauziyah (Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Editor: Suciyadi Ramdhani