Menurut kumparan.com, berdasarkan hasil studi World Value Survey (WVS) Indonesia tahun 2018 menunjukkan bahwa secara umum, masyarakat Indonesia memang memiliki kecenderungan patriarki, meski tidak sepenuhnya menganggap bahwa laki-laki selalu “lebih berkuasa” dibanding perempuan dalam segala aspek.
Menurut Media Indonesia, patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.
Pembudayaan patriarki ini biasanya terpengaruh karena kebiasaan masyarakat yang berpikir secara kolot yang telah diturunkan dari generasi sebelumnya. Sederhananya dalam pekerjaan rumah, yang selalu identik dengan pekerjaan rumah adalah pekerjaan perempuan. Perempuan selalu dituntut untuk bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, memasak, menyuci, beberes, dan lainnya dibandingkan laki-laki. Padahal, pekerjaan rumah ini suatu kegiatan yang umum yang semua gender bisa melakukannya tanpa harus menuntut salah satunya.
Satu yang perlu digarisbawahi bahwa budaya patriarki tidak selalu identik dengan masyarakat kolot, melainkan hanya pemikirannya saja yang disebut kolot. Semua lapisan masyarakat bisa terpengaruh sekalipun ia lahir di masa modernsekarang ini. Mengapa demikian? Contoh pada masyarakat Badui yang dianggap sebuah masyarakat tradisional (Lihat: Muttaqien: 2019). Hal ini bisa dilihat pada representasi kebiasaan pada makna kerjasama dalam menjalankan ritual keagamaan dalam tradisi Sunda Wiwitan Badui.
Tradisi itu yang biasa dilakukan setiap tahun merupakan prosesi tahap akhir atau puncak dari rangkaian tradisi yang harus dilakukan sebelumnya, seperti kawalu dan kalaksa. Salah satu prosesi dari tradisi Seba di atas, terdapat hal yang sangat menarik dan khusus dari tahapan menjalankan ritual Seba. Hal itu adalah aktor dari aktivitas dalam pembuatan laksa (ngalaksa) adalah para perempuan Badui terpilih. Mereka berperan dominan dalam melakukan tahapan itu.
Kemudian contoh lainnya adalah ketika perempuan dan laki-laki Badui pulang ke rumah masing-masing dari ngahuma pada waktu sore hari; pekerjaan-pekerjaan seperti memasak, mencuci, dan mengurus anak, yang umumnya dilakukan oleh perempuan, acapkali dilakukan dan diambil alih pekerjaan itu oleh laki-laki Badui. Hal itu terjadi juga pada kegiatan-kegiatan lain di luar rumah, seperti mencari kayu bakar, yang biasanya dilakukan oleh laki-laki, juga kerapkali dilaksanakan oleh perempuan Badui.
Menjalani aktivitas di dalam kehidupan sehari-hari oleh laki-laki dan perempuan Badui adalah saling membantu dan mendukung satu sama lainnya. Meski mereka dikatakan masyarakat primitif, namun untuk cara berpikir mereka tidaklah kolot. Berdasarkan penjelasan di atas bahwa keadaban/kebiasaannya mereka menjunjung kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Atau dalam istilah saat ininya adalah kesetaraan gender.
Dalam Islam pun telah diajarkan adanya kesetaraan antara perempuan dan laki-laki (kesetaraan gender). Dikutip dari sebuah artikel, al-Qur’an mengakui adanya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, namun perbedaan tersebut tidak menjadi dasar pembeda peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Salah satu prinsip kesetaraan gender dalam al-Qur’an yaitu pada Q.S. Adz-Dzariyyat: 56, yang artinya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba-Nya Allah. Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan siapa yang banyak amal ibadahnya, maka itulah mendapat pahala yang besar tanpa harus melihat dan mempertimbangkan jenis kelaminnya terlebih dahulu. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal.
Dalam Islam semua aspek kehidupan telah diatur, termasuk terkait pembahasan kesetaraan gender ini. Islam memandang baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran dan kedudukan yang sama, yang membedakannya hanyalah ketakwaannya. Dahulu sebelum Islam datang, perempuan tidak dihargai oleh masyarakat jahiliyyah, bahkan perempuan itu dianggap sebagai aib pada masyarakat. Namun, setelah hadirnya Islam kedudukan perempuan diangkat dan dimuliakan.
Daftar Pustaka
Muttaqien, Zaenal. “Peran Perempuan dalam Tradisi Sunda Wiwitan.” Khazanah Theologia, Vol. 1, No. 1 (December 26, 2019). https://doi.org/10.31098/ijmesh.v2i2.15
Nagara, Grady. “Seberapa Patriarki Masyarakat Indonesia?.” Kumparan.com, November 30, 2020. https://kumparan.com/grady-nagara/seberapa-patriarki-masyarakat-indonesia-1ugnD8Eb3tq/4
Susanti. “Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’an.” Al-Munawwaroh: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 11, No. 1 (Maret 2019). https://doi.org/10.12345/al-munawwarah.v11i1.3485 Teniwut, Meilani. “Mengenal Budaya Patriarki dan Dampaknya pada Perempuan.” Media Indonesia, November 18, 2022. https://m.mediaindonesia.com/humaniora/538339/mengenal-budaya-patriarki-dan-dampaknya-pada-perempuan
Penulis: Ihsan Sa’dudin
Editor: Suciyadi Ramdhani