Istilah kesetaraan gender dalam tataran praksis memang hampir selalu diartikan sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang melahirkan diskriminasi, subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya yang dialami oleh kaum perempuan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika persoalan perempuan dapat mengundang rasa simpati yang cukup besar dari masyarakat luas sehingga muncul upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi kaum perempuan dengan penyadaran dan pemberdayaan.
Para feminis sangat antusias berusaha untuk mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif (fifty-fifty), yaitu laki-laki dan perempuan harus sama-sama berperan baik di sektor publik maupun sektor domestik (rumah tangga). Untuk mewujudkan kesetaraan gender ini, para feminis sampai kini masih yakin bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis, atau perbedaan genetis.
Sepanjang sejarah memang tidak banyak perempuan yang menjadi pemikir, pemimpin, kaum ulama, sufi, pahlawan, pemuka dan tokoh masyarakat. Dengan demikian, realitas ini secara sepintas akan menjadi bukti kelemahan eksistensi kaum perempuan di antara kaum laki-laki.
Asumsi ini sangat mempengaruhi kaum perempuan dalam sosialisasi citra mereka sebagai manusia yang menginginkan persamaan dalam kehidupan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan seringkali menjadi perdebatan yang hangat dan tak pernah usai. Sebagian pendapat menyamakan dan mensejajarkan antara keduanya, sebagian lagi secara tegas membedakan dalam berbagai hal, dan menganggapnya sebagai kodrat atau takdir.
Ada dua aliran (mainstream) pandangan stereotip terhadap karakteristik (status dan juga peran) perempuan, yaitu:
Pertama, teori nature (alam) yang beranggapan bahwa karakter perempuan disebabkan karena faktor biologis dan komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan tersebut menimbulkan perbedaan aspek psikologis dan intelektual. Kalau kaum laki-laki dianggap mempunyai sifat agresif, rasional, independen, percaya diri, pemberani, maka perempuan sebaliknya.
Menurut teori ini faktor-faktor tersebut menyebabkan problem ketergantungan. Oleh karena itu, perempuan dianggap sukar untuk maju dan berkembang, sehingga kaum perempuan kurang memiliki peranan dalam lingkungan masyarakat.
Kedua, teori nurture (kebudayaan). Menurut teori ini faktor yang paling menentukan posisi, peran, dan karakteristik perempuan adalah lingkungan dan budaya. Selama ini budaya, pola asuh, struktur masyarakat kurang memberikan dukungan terhadap tumbuh kembangnya potensi perempuan. Sehingga sesungguhnya anggapan kurang cerdasnya perempuan, itu bukan faktor bawaan.
Berdasarkan teori ini dapat dipahami bahwa ketidaksetaraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan itu disebabkan karena kesempatan dan peluang yang dimiliki antara keduanya berbeda, sehingga tangga menuju aktualisasi tidak equivalen dan menyebabkan salah satu pihak dianggap subordinat atau kelompok minoritas.
Pandangan Islam tentang Gender
Wacana gender di lingkungan umat Islam ditanggapi secara beragam. Ada yang merespon secara positif dan menerimanya sebagai kemestian sejarah, namun juga ada yang meresponnya secara negatif dan secara apriori menolaknya karena dianggap sebagai sesuatu yang datang dari Barat yang akan merusak Islam. Di luar dua sikap yang ambivalen itu, terdapat model ketiga dalam merespon wacana gender, yaitu sikap kritis. Respon tersebut wajar muncul karena sebagai istilah, gender merupakan wacana baru di lingkungan umat Islam.
Kenyataan terhadap respon di atas tampaknya berangkat dari kegelisahan sekaligus kekhawatiran masyarakat terhadap ‘pudarnya sakralitas Islam, karena mereka umumnya meyakini bahwa Islam adalah sistem ajaran yang sudah lengkap, paripurna, dan tidak kurang suatu apa. Tidak ada satu persoalan apapun, besar maupun kecil, yang mencolok maupun yang remang-remang, yang belum ada jawabannya. Semuanya telah sempurna sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 3.
Persoalannya adalah bagaimana memahami teks tersebut dalam hubungannya dengan gender? Apakah gender bagian dari Islam? Apakah Islam memiliki pandangan mengenai gender? Dan beberapa pertanyaan yang menggelayut lainnya.
Memang jelas kalau gender adalah wacana yang membicarakan relasi laki-laki dan perempuan atau kedudukan keduanya, maka dalam sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis semuanya tersedia. Namun ketersediaan wacana tersebut di dalamnya bukan berarti tuntasnya persoalan gender dijawab oleh keduanya.
Sebagai contoh, dalam al-Qur’an disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah zauj; berpasangan. Konsep ajaran ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan itu adalah setara/equal (musawa) dan bersifat komplementaris (saling melengkapi).
Allah menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan. Laki-laki- perempuan, suami-istri, siang-malam, bumi-langit, malam-siang, dan positif-negatif. Keberpasangan mengandung perbedaan sekaligus persamaan. Meskipun demikian, keberpasangan bukan sesuatu yang bersifat suplemen, namun bersifat komplemen. Karena itu, perbedaan dan persamaan dalam keberpasangan merupakan sesuatu yang given, apa adanya dan tidak dapat dihindari. Keberpasangan dengan perbedaan dan persamaan merupakan desain, agar kehidupan berjalan baik dan seimbang.
Laki-laki dan perempuan keduanya berkewajiban menciptakan situasi harmonis dalam keluarga dan masyarakat. Ini berarti kita dituntut untuk mengetahui keistimewaan dan kekurangan masing- masing, serta perbedaan-perbedaan antara keduanya. Tanpa mengetahui hal-hal tersebut, maka orang bisa mempermasalahkan dan menzalimi banyak pihak. Dia bisa menganiaya perempuan karena mengusulkan hal-hal yang justru bertentangan dengan kodratnya.
Berdasarkan pemahaman di atas maka perempuan diciptakan Allah untuk mendampingi lelaki, demikian juga sebaliknya. Dengan model hubungan ini, maka tidak ada satu pihak yang menegasikan pihak lainnya. Kedua pihak merupakan pasangan yang simbiose mutualisme. Hal ini karena ciptaan Allah pasti yang paling baik dan sesuai untuk masing-masing.
Dari paradigma Islam di atas, maka ditemukan beberapa prinsip kesetaraan gender dalam Islam:
- Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. adz-Dzariat [51]: 56
- Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah Allah sebagaimana ditegaskan Q.S. al-An’am [6]: 165 dan al-Baqarah [2]: 30.
- Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-A’raf [7]:172.
- Laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa) sama-sama terlibat aktif dalam peristiwa drama kosmis, sebagaimana terekam dalam banyak ayat, seperti Q.S. al-Baqarah [2]: 35, al-A’raf: 20 dan 22, serta 23 dan al-Baqarah: 187.
- Laki-laki dan perempuan berpotensi yang sama dalam meraih prestasi sebagaimana terdapat dalam Q.S. Ali ‘Imran [3]: 195, an-Nisa’ [4]: 124, an-Nahl [16]: 97 dan Ghafir [40]: 40.
Secara khusus untuk prinsip yang terakhir, dikaitkan dengan dunia pendidikan maka kaum perempuan dan laki-laki memiliki peluang yang sama untuk mengaktualisasikan diri dalam memperlihatkan kompetensinya masing-masing. Dalam agama Islam, wanita diwajibkan menuntut ilmu pengetahuan seperti halnya kaum pria.
Dapat disimpulkan bahwa prinsip keadilan gender dalam perspektif Islam adalah kaum laki-laki dan perempuan sama dalam beberapa hal, yaitu sebagai hamba Allah, sebagai khalifah Allah, menerima perjanjian primordial, terlibat aktif dalam peristiwa drama kosmis, dan berpotensi yang sama dalam meraih prestasi.
Prinsip ini secara jelas diuraikan dalam pedoman ajaran Islam berupa teks atau nash al-Quran dan Hadis. Sedangkan perbedaan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan hanya dapat dilihat dari segi tingkat ketakwaan kepada Allah Swt.
Penulis: Maulia Zahra (Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Editor: Suciyadi Ramdhani