Salat jum’at menjadi salah satu kewajiban kaum muslimin laki-laki yang dilakukan seminggu sekali. Salat jumat telah dilaksanakan bahkan dari masa hidupnya Nabi Muhammad SAW. Sholat jumat menjadi spesial karena dilaksanakan satu kali dalam satu minggu, yaitu pada hari jum’at. Hari jumat sendiri diberitakan oleh rosul sebagai sayyidul ayyam (rajanya hari).
Salat jumat memiliki beberapa karakteristik dan perbedaan dengan solat fardu pada umumnya. Hal ini dikarenakan sholat jum’at memiliki syarat dan rukun yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan sholat fardu pada umumnya. Dalam sholat jumat salah satu syarat yang wajib dipenuhi adalah khutbah jumat. Khutbah jumat sendiri dilaksanakan dengan beberapa rukun yang perlu diketahui dan dilaksanakan oleh khotib ketika khutbah.
Kebanyakan khotib yang bertugas dalam khutbah jumat adalah laki-laki, begitu yang disepakati oleh imam madzhab. Mereka berpendapat wanita tidak dapat menjadi khotib jumat karena yang menjadi khotib jumat hendaklah yang dapat meng-imami solat jumat, dan wanita tidak dapat meng-imami laki-laki dalam sholat jumat.
Namun terjadi pertentangan ketika ada wacana pada salahsatu pondok pesantren di Indramayu yang menginginkan khotib jum’at itu bukan laki-laki saja. Mereka berpendapat bahwa wanita juga dapat menjadi khotib jumat bukan hanya dalam keadaan terpaksa, tapi disengaja. Mereka berkara bahwa mereka memberikan perhatian khusus pada pengkatan derajat wanita.
Menurut penulis, pendapat seperti ini sangat tidak sesuai dengan fakta bahwa Nabi Muhammad SAW. Adalah orang yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Dengan adanya aturan bahwa khotib jumat itu laki-laki, bukan berarti nabi atau para ulama menafikan keberadaan wanita. Wanita tidak wajib melakukan sholat jumat seperti laki-laki, tetapi mereka boleh ikut melaksanakan sholat jumat bersama laki-laki dalam beberapa pendapat.
Dalam permasalahan khotib ini, para ulama telah memahami dan meneliti pembahasan dari mulai al-qur’an dan hadist nabi. Tetapi para imam madzhab yang empat tidak ada yang merumuskan bahwa khotib wanita itu diperbolehkan. Imam Hanafi berpendapat bahwa orang yang boleh menjadi khotib dalam sholat jum’at adalah orang yang memiliki kelayakan menjadi imam jumat.
Sedangkan wanita tidak memiliki kelayakan untuk meng-imami laki-laki. Sedangkan menurut Imam Maliki khotib jum’at dan imam jum’at hendaknya orang yang sama kecuali terpaksa. Dan seperti pendapat sebelumnya, wanita tidak dapat meng-imami laki-laki, maka menurut imam maliki wanita tidak dapat menjadi khotib jumat. Begitupun dengan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hambali.
Pada kasus yang terjadi di Indramayu tersebut sempat mendapat perhatian penting dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga meresponnya dengan mengeluarkan fatwa bahwa adanya khotib perempuan itu tidak sah.
Penulis: Bambang Ekanara
Editor: Suciyadi Ramdhani