Tulisan ini memfokuskan pada pandangan atau tafsir Fakhruddīn al-Rāzī (selanjutnya ditulis: al-Rāzī) dalam QS. Al-Fatihah: 6-7. Pandangannya tersebut dijelaskan di dalam buah karyanya, al-Tafsīr al-Kabīr atau dikenal juga dengan nama Mafātiḥ al-Ghayb.
Penulis hanya mencantumkan sekaligus menjelaskan pandangan al-Rāzī yang berhubungan dengan moderasi beragama. Moderasi beragama yang dimaksud penulis adalah sikap beragama yang seimbang atau memilih jalan tengah dalam beragama.
Moderasi beragama meskipun wacana baru, namun sebagai diskursus sudah melekat (inheren) di dalam ajaran Islam itu sendiri, di antaranya anjuran menjadi ummat pertengahan/wasaṭ (QS. al-Baqarah [2]: 143), berbuat adil dalam kondisi apapun (QS. al-Māidah [5]: 8), penerimaan terhadap tradisi (QS. al-Hujurāt [49]: 13), toleran dengan yang berbeda (QS. al-An’ām [6]: 108).
Terkait dengan tema moderasi beragama tersebut, al-Razi memahami al-ṣirāt al-mustaqīm (QS. al-Fatihah [1]: 6) sebagai jalan tengah dari sikap tafrīṭ dan ifrāṭ.
Orang mukmin senantiasa memohon kepada Allah agar diberi hidayah ke jalan yang lurus yakni jalan pertengahan di antara sikap tafrīṭ/tasāhul yakni sikap menyepelekan dalam beragama dan sikap ifrāṭ/tasyaddud yakni sikap berlebihan dalam beragama. Sikap pertengahan ini, lanjut al-Rāzī, dipraktikkan baik dalam berakhlak, cara berinfaq (QS. al-Isrā [17]: 29) maupun bermuamalah lainnya.
Dalam QS. al-Fatihah (1): 7, al-Rāzī memberikan status lemah (ḍa’īf) terhadap riwayat yang menafsirkan al-maghḍub sebagai orang-orang Yahudi, dan al-Ḍālīn sebagai orang-orang Nasrani, al-Rāzī memberikan argument bahwa orang-orang Musyrik jauh lebih buruk dari orang Yahudi dan Nasrani. Sebagai alternatif, al-Rāzī memberikan banyak tafsir pada ayat tersebut.
Sebelum menjelaskan siapa itu al-maghdub dan al-Ḍālīn, al-Rāzī memberikan bentuk pertanyaan, apa faidahnya, setelah menjelaskan “jalan orang-orang yang diberi nikmat”, Allah perlu menambahkan dengan “bukan jalan orang-orang yang dimurkai (maghdub) dan bukan jalan orang-orang yang sesat”. Kemudian al-Rāzī memberikan jawaban: keimanan bisa sempurna karena orang beriman tersebut dipenuhi dengan sikap penuh harap (al-Rajā) dan penuh kekhawatiran (al-Khauf) hanya kepada Allah.
Untuk menguatkan pendapatnya, al-Rāzī menukil hadis Nabi: “Seandainya ditimbang sikap harap dan sikap khawatir seorang mukmin, kita akan menemukan keduanya seimbang”. Menurut al-Rāzī, ayat “jalan orang-orang yang engkau beri nikmat” adalah representasi dari sikap penuh harap (al-Rajā) dari orang mukmin kepada Allah, ayat “bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat” merupakan representasi dari sikap kekhawatiran (al-Khauf) seorang mukmin kepada Allah. Iman seseorang bisa kuat dan sempurna, menurut al-Rāzī, jika dibarengi dengan sikap harap dan khawatir secara sekaligus dan seimbang.
Terinspirasi dari ayat 7 QS. al-Fatihah (1), al-Rāzī mengatakan ada tiga kelompok orang di dunia ini: pertama mereka yang tidak mempunyai akhlak yang baik, mereka adalah orang fasik (maghḍub), kedua mereka yang tidak mempunyai aqidah yang baik, mereka adalah orang kafir dan ahli bid’ah (ḍālīn), dan yang dikehendaki al-Rāzī adalah kelompok yang ketiga, yaitu mereka yang berakhlak mulia sekaligus beraqidah yang benar, itulah mereka yang diberi nikmat oleh Allah.
Al-Rāzī memungkasi penafsirannya dengan mengatakan, jiwa manusia bisa sempurna, jika ia memperoleh pengetahuan dengan dua cara, cara pertama dengan mendayagunakan pikiran, analisis dan bukti-bukti (al-ṣirāt al-mustaqīm), cara kedua dengan berusaha mengambil pelajaran dari capaian-capaian orang-orang terdahulu (QS. al-Fatihah [1]: 7).
Daftar Pustaka
Al-Rāzī, Fakhruddin (2015). Al-Tafsīr al-Kabīr aw Mafātiḥ al-Ghayb. Vol. I. Mesir: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah
Penulis: Abdul Hamid
Editor: Suciyadi Ramdhani