Keaksaraan al-Qur’an dalam sejarah Islam, jika dilihat dari perspektif budaya, telah melahirkan berbagai karakter aksara Arab serta memiliki nilai keindahan yang memukau. Secara visual, al-Qur’an diekspresikan sebagai subjek seni yang kini dikenal dengan istilah seni kaligrafi al-Qur’an (Gusmian, 2020).
Kaligrafi berasal dari bahasa Yunani yakni kallos (indah) dan graphein (menulis), yang berarti tulisan indah atau seni tulisan indah (Echols & Shadily, 2006). Kaitannya dengan tradisi Arab, biasa disebut dengan al-khatt al-‘arabi. Menurut sebagian sejarawan muslim, kaligrafi Arab berasal dari tulisan Mesir Kuno, yakni Hieroglyph yang berkembang pada tahun 3200 SM dan huruf-hurufnya berupa gambar (piktograf) (Gusmian, 2020).
Kegairahan kaligrafi Islam sebagai karya seni di Indonesia dimulai pada tahun 1970-an dan secara intens melibatkan keaksaraan al-Qur’an sebagai salah satu medan artistiknya (Gusmian, 2020). Beragam bentuk dan pola khatt yang sesuai dengan kaidah baku kaligrafi dapat memunculkan aura keindahan yang imajinatif.
Dalam kehidupan pesantren tidak hanya terpaku pada mengaji dan menghafal. Namun, dalam peranannya, pesantren sebagai pusat pengajaran keislaman turut menyebarkan dan melestarikan seni kaligrafi al-Qur’an. Di dalamnya pun, pengajaran kaligrafi dilakukan secara bertahap. Awalnya, gaya tulisan di pesantren dikenalkan dengan gaya tulisan Riq’i –lebih sederhana dibanding gaya tulisan yang lain-, dan selanjutnya, santri diajarkan khatt dengan estetika yang indah dan karakter imajinasi terstruktur (Kusdiana, 2012). Terdapat beberapa macam khatt, yakni khatt Naskhi, khatt Tsuluts, khatt Farisi, khatt Diwani, khatt Diwani Jali, khatt Riq’ah/Riq’i, dan khatt Kufi (R, 2021).
Adapun pesantren pertama yang memproklamirkan pembelajaran kaligrafi al-Qur’an, yakni Pesantren Quro di Karawang yang didirikan pada tahun 1418 oleh Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik (Kusdiana, 2012). Selain itu, terdapat pesantren di Jawa Barat yang di dalamnya mengkhususkan pembelajaran kaligrafi, yakni Pesantren Lembaga Kaligrafi al-Qur’an di Sukabumi yang didirikan pada tahun 1998 dan diprakarsai oleh Drs. H. Didin Sirajuddin AR, M.Ag (R, 2021).
Keberadaan al-Qur’an dapat diresepsi secara ekspresif menjadi bentuk aksara dengan unsur dekoratif yang indah. Kaligrafi al-Qur’an tidak hanya dinyatakan sebagai bentuk ekspresi seni, melainkan bentuk pengeksploran eksistensi makna al-Qur’an sebagai aktualisasi dakwah melalui tulisan. Adanya kegiatan tradisi intelektual yang diterapkan di pesantren-pesantren menjadi jembatan untuk santri berekspresi dalam bidang seni menulis yang dikombinasikan dengan nilai keislaman (Kusdiana, 2012). Melalui seni kaligrafi, al-Qur’an dapat hidup dengan sakral di masyarakat. Dan masyarakat dapat menghidupkan al-Qur’an melalui seni kaligrafi, yang mana dari hal tersebut dapat melestarikan kaligrafi sebagai budaya keislaman.
Kaligrafi al-Qur’an merupakan seni rupa yang bercorak keislaman. Secara eksplisit, kaligrafi al-Qur’an menampilkan keindahan-keindahan tulisan yang bisa dinikmati, juga sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan makna al-Qur’an melalui aksara yang ditulis. Dari hal tersebut, secara tidak langsung, komunikasi sosial antara si pembuat kaligrafi dan si pembaca akan terjalin.
Daftar Pustaka
Echols, J. M., & Shadily, H. (2006). Kamus Indonesia-Inggris (Edisi Ke-3). PT Gramedia Pustaka Utama.
Gusmian, I. (2020). Al-Qur’an: Antara yang Indah dan Berfaedah dalam Pergumulan Muslim Indonesia. In
A. Rafiq (Ed.), Living Qur’an (Edisi ke-3, p. 5). Lembaga Ladang Kata dan AIAT se-Indonesia.
Kusdiana, A. (2012). Peran Pesantren dalam Penyebarluasan Seni Kaligrafi Islam di Jawa Barat. Panggung, 22(4), 1–20. https://doi.org/10.26742/panggung.v22i4.65
R, R. (2021). Analisis Manajemen Pembelajaran Seni Kaligrafi di Pesantren Lembaga Kaligrafi al-Qur’an Sukabumi Jawa Barat. In Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Palopo. Institut Agama Islam Negeri Palopo.
Penulis: Bambang Ekanara
Editor: Suciyadi Ramdhani