Landasan epistemologis lain dalam memperoleh ke Bayani berasal dari kata al-bayan, yang berarti penjelasan atau informasi, dan muncul dalam literatur sejarah Arab dan Islam. Secara historis, istilah “fundamentalisme” mengacu pada gerakan Protestan Amerika pada awal abad ke-20 yang menyerukan kembalinya interpretasi Alkitab secara literal atau tekstual, (Fuadi, 2013, hal. 115).
Meskipun tidak ada padanan arab untuk istilah ini, baik sarjana agama Barat maupun Timur secara resmi menggunakan istilah fundamentalisme untuk merujuk pada kecenderungan radikal dan konservatif dalam agama.Oleh karena itu, istilah “fundamentalisme Islam” didasarkan definisi tersebut. Artinya, gerakan agama yang memahami teks-teks agama secara harafiah, argumentasi fundamentalisme Islam lebih dekat dengan teks, dan kurang memperhatikan benaran.
Menurut Armstrong (Armstrong, 2001, hal.17), penggunaan istilah “fundamentalisme” dalam Islam agak menyesatkan. Namun sebagian manusia hanya mengatakan bahwa suka atau tidak suka, kata “fundamentalisme” tetap ada, meski tidak sempurna. Namun ini merupakan stempel atau label yang membantu menjelaskan gerakan-gerakan yang berbeda namun memiliki kemiripan yang kuat.
Basic nalar berfikirnya fundatalisme islam sering disebut sebagai paing autentik dan paling suci mereka masih menyakini figur-figur islam yang memandang dunia sebagai absolut. Kasus di indonsesia masih sering terjadi pada warga Nu yang memiliki simbol Islami yang bertawasul kepada Nabi Muhammad Saw, yang divonis syirik, bid’ah, dan kafir. Dan masih terjadi di Masyarakat Indonesia karena tidak menyakini Pancasila sebagai ideologi negara, sehingga mengakibatkan terjadinya kekerasan, pengahancuran rumah ibadah, pembunuhan, serta bom bunuh diri.
Fundamentalisme Islam memiliki banyak ciri yang mudah untuk dikenal, Dalam isu politik, partai fundamentalis lebih menekankan pada atribut dan simbol tertentu, seperti “Negara Islam” atau “Islam digunakan sebagai sumber filsafat nasional.” Penekanan pada beberapa label didasari oleh keyakinan bahwa syariah mengatur segala hal yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk bidang politik. Lebih jauh lagi, fundamentalisme Islam beranggapan bahwa aturan-aturan Islam bagi kehidupan manusia bersifat lengkap dan menyeluruh, termasuk dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, fundamentalisme Islam menolak konsep-konsep nasional lainnya, terutama yang berasal dari Barat. (Mahendra, 1999, hal. 40)
Penulis: Nisa’ul Izza
Editor: Abdul Hamid