Penalaran Burhani pertama kali diperkenalkan ke dalam peradaban Arab pada tahun ketika al-Kindi menulis judul Farsafa al-Ula, yang menjelaskan filsafat yang dianut oleh filsafat Aristoteles.
Al-Kindi menciptakan aksara ini pada tahun sebagai hadiah kepada Khalifah al-Makmun. Dalam artikel tersebut dijelaskannya bahwa filsafat adalah ilmu tentang pengetahuan manusia yang menempati derajat tertinggi dan paling mulia. Karena segala sesuatu yang dapat diketahui mempunyai hakikat.
Melalui tulisannya, al-Kindi membantah keraguan pihak-pihak yang mengingkari keberadaan filsafat (Wibowo, t.t., 6).
Argumen Burhani sangat berbeda dengan argumen Bayani atau Irfani.
Kedua dalil ini masih ada hubungannya dengan kitab suci, namun Burhani tidak ada hubungannya dengan kitab suci, dan tidak ada hubungannya dengan pengalaman. Ia menekankan akal dan akal, dilaksanakan dengan postulat logis dan dipandu olehnya. Dalil agama juga dapat diterima apabila konsisten dengan nalar dan logika rasional (Kusuma 2018, p. 11).
Di sisi lain, dalam jurnal ‘Islamic Epistemology in Research’ yang ditulis oleh Alimuddin , pembahasan Burhani tentang Ibnu Rusyd berpendapat bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah sosial, manusia, agama atau tentu saja terfokus pada realitas atau al-Waqi. Diasumsikan bahwa Pengetahuan disusun secara sistematis melalui logika dan mantique, bukan melalui teks atau intuisi. Oleh karena itu, yang mendasari pemikiran Burhani adalah kausalitas, rasionalitas, dan esensialisme yang dikembangkan dengan metode deduktif dan induktif.
Syarat yang dikemukakan al-Farabi mengenai premis Burhani adalah premis Burhani merupakan premis primer dan benar yang sangat diperlukan.
Adanya keimanan dan keyakinan menjadi faktor yang membenarkan Burhani.
Untuk membujuk harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Keyakinan tentang sesuatu yang mungkin ada atau tidak dalam situasi tertentu, keyakinan tentang sesuatu yang tidak dapat didasarkan pada hal lain, keyakinan tentang angka mustahil bisa jadi saling bertentangan.
Argumentasi Burhani juga menggunakan ilmu-ilmu lain seperti sensasi, namun harus memenuhi syarat bahwa objek ilmu indrawi harus sama kapanpun dan dimanapun diamati, sehingga menimbulkan kesimpulan yang berlawanan (Soleh, t.t., 197).
Al-Farabi juga menyatakan bahwa peran akal mencakup produksi lima aktivitas: ekspresi argumentatif, ucapan dialektis dan canggih, ekspresi puitis, dan ucapan retoris. Kegiatan-kegiatan tersebut yang kemudian digunakan untuk menjawab dan menyelesaikan konflik-konflik serta mencapai kesatuan pemikiran dalam masyarakat dengan menunjukkan kebingungan yang timbul dalam kehidupan berpikir masyarakat karena masyarakat tidak mengenal dan memahami logika (Kajian Aqidah dan Filsafat) Program Fakultas Agama Islam Ushuruddin dan Studi Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan 2019, 128).
Penulis: Ihsan Sa’dudin
Editor: Suciyadi Ramdhani