Dilema Pemimpin Perempuan dalam Islam

Seorang perempuan yang tampil menjadi pemimpin. (Sumber

Perempuan zaman sekarang cenderung sedikit-sedikit menghilangkan asumsi masyarakat tentang peran perempuan yang hanya sebagai konco wengkeng, dan hanya berperan sebagai support system laki-laki. Tidak sampai disitu, kini juga banyak perempuan yang berambisi untuk menampakkan eksistensinya didepan publik.

Banyak dari mereka mencalonkan diri sebagai pemimpin, baik diranah desa, kecamatan, atau bahkan menjadi pemimpin suatu Negara. Isu-isu mengenai kepemimpinan perempuan memang sangat menarik untuk dibahas dan dikaji. Melihat kepemimpinan adalah suatu hal penting dalam tatanan lingkungan social, baik dalam ranah rumah sampai Negara.

Sebelum hadirnya islam pun, perempuan dapat menjadi pemimpin. Dalam Al-Qur’an Surah An-Naml : 29-33 dijelaskan tentang kepemimpinan Ratu Balqis yang memimpin kerajaan Saba’ (Yaman) pada masa Nabi Sulaiman AS yang merupakan salah satu contoh bahwa islam tidak melaramg perempuan untuk mengambil peran menjadi seorang pemimpin dalam sebuah komunitas politik. 

Perdebatan antara boleh atau tidaknya perempuan untuk memegang peran pemimpin dalam sebuah organisasi, perusahaan, ataupun negara telah menjadi pembahasan panjang dalam berbagai forum kajian mulai dari perspektif tata negara hingga keagamaan. Pertanyaan mendasar yang kemudian seringkali memancing diskusi mengenai posisi perempuan dalam puncak manajerial adalah mampu atau tidaknya perempuan sebagai individu untuk mampu mengelola suatu organisasi atau lembaga dengan segala dinamikanya.

Kepemimpinan yang efektif juga identik dengan ketrampilan interpersonal yang kuat, kepedulian untuk membangun kerjasama, terjalinnya hubungan saling percaya seperti mendukung, mengembangkan, maupun menguatkan yang seringkali diatribusikan sebagai feminim. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, organisasi profit maupun non-profit saat ini lebih membutuhkan kepemimpinan efektif yang mampu meningkatkan fungsi organisasi secara optimal sehingga seharusnya organisasi lebih berfokus pada perilaku serta atribut yang dimiliki oleh calon pemimpin dibanding menjadikan gender sebagai isu atau alasan kepemimpinan. 

  Jelas tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini stereotip yang berkembang terutama di masyarakat Indonesia memandang perempuan sebagai sosok yang kurang mampu untuk menduduki posisi kepemimpinan. Sebenarnya hal ini juga bukan merupakan asumsi semata karena hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya pun menjelaskan bahwa meskipun perempuan menampilkan sisi maskulinitas yang dimilikinya ketika memimpin, hal ini tidak mengundang respon yang cukup positif dari lingkungannya dibandingkan ketika laki-laki menampilkan sisi maskulinitasnya.

Kondisi ini tentu tidak bisa lepas dari latar belakang agama dimana mayoritas masyarakat Indonesia merupakan muslim. Perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya perempuan memegang posisi kepemimpinan juga turut dikaji melalui persepektif agama. Masyarakat muslim dalam aplikasi kehidupannya menjadikan Al-Quran dan hadis sebagai dasar penetapan suatu keadaan yang terjadi. Termasuk diantaranya adalah fatwa mengenai boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin dalam suatu organisasi atau negara.

Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga resmi pemerintah yang dapat mengeluarkan fatwa atas sesuatu pun belum pernah mengeluarkan fatwa tentang larangan perempuan sebagai pemimpin. Hal ini didasari pada masih adanya perdebatan pula di kalangan ulama tentang asas boleh atau tidaknya perempuan sebagai pemimpin.

Bagi sebagian pihak yang melarang dengan tegas perempuan untuk dapat menduduki posisi kepemimpinan biasanya mendasarkan pada ayat Al-Qur’an Surat An-Nisaa’: 34 yang sebagian ayatnya berarti: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…”

Berdasarkan ayat tersebut, para ahli tafsir menyatakan bahwa kata “qawwam” yang terkandung pada ayat tersebut bermakna pemimpin, pelindung, pengatur, dan sebagainya. Lebih lanjut al-Razy dalam Tafisr al-Kabir menjelaskan bahwa kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki dibandingkan perempuan disebabkan karena keunggulan akal dan fisiknya.

Perempuan sejatinya juga memiliki potensi yang baik untuk dapat menjadi pemimpin dalam suatu organisasi dengan dua syarat. Pertama, memiliki kemampuan serta ketrampilan yang dibutuhkan untuk dapat menjalankan kepemimpinan secara efektif. Kedua, kebutuhan organisasi terhadap sosok pemimpin sesuai dengan gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh perempuan. Diluar kondisi tersebut maka menjadi tantangan bagi masyarakat untuk membentuk lingkungan yang suportif agar potensi perempuan juga dapat berkembang optimal sejalan dengan berkembangnya kualitas masyarakat di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

 Trinidad, C. dan Normore, A.H. (2005). Leadership and Gender: A Dangerous Liaison? Leadership and Organization Development Journal, 26, 7/8, pg. 574.

Yukl, G. (2010). Leadership in Organizations Seventh Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Akmala, Lifthya Ahadiati. (2022). Pemimpin Perempuan dalam Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *