Dampak Kemiskinan Kultural dan Ayat Al-Qur’an Surat ar-Rad Ayat 11 Penafsiran M. Quraish Shihab

Homeless people banners with sleeping person at street and men getting warm under bridge isolated vector illustration. (Source: freepik.com)

Kemiskinan menjadi salah satu permasalahan sosial yang masih terus terjadi. Sejak dulu hingga saat ini, berbagai negara di dunia pun masih berusaha mengentaskan permasalahan kemiskinan, begitu pula Indonesia.

Ada banyak definisi yang menjelaskan tentang kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar kebutuhan dasar minimal yang meliputi kebutuhan pangan maupun non pangan. Penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas atau disebut garis kemiskinan.

Jika dibedakan dari faktor penyebab dan pengertiannya, para ahli membagi kemiskinan menjadi empat jenis. Salah satu jenis kemiskinan tersebut adalah kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang terbentuk karena kebiasaan masyarakat yang sudah menjadi budaya, baik itu dari nilai-nilai yang diusung, pemikiran, maupun cara kerja.

Kemiskinan kultural juga dapat diartikan sebagai kemiskinan mental atau budaya, karena disebabkan oleh pengaruh pandangan atau kebudayaan yang dianutnya. Kemiskinan semacam ini tentunya berdampak pada kehidupan. Lalu bagaimanakah dampak kemiskinan kultural bagi kehidupan?

Salah satu dampak kemiskinan kultural adalah timbulnya rasa malas dan putus asa. Ketika kemiskinan kultural telah menjadi budaya dan pola pikir, maka diri sendiri pun akan menganggap jika kemalangan yang dialaminya adalah kesialan yang tak bisa diubah dan harus mereka terima.

Padahal pola pikir inilah yang menciptakan sifat malas dan putus asa justru membuatnya tidak bisa keluar dari masalahnya sendiri. Dampak kemiskinan kultural seperti inilah yang harus diubah agar dapat meningkatkan potensi hingga akhirnya bisa keluar dari lingkaran tersebut.

Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surat  Ar-Rad Ayat 11

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ ١١

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d 13: Ayat 11)

Menurut  M. Quraish Shihab ayat di atas menyatakan ada dua macam perubahan dengan dua pelaku. Perubahan pertama adalah perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah. Sedangkan perubahan kedua adalah perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia.

Perubahan kedua yang merupakan perubahan keadaan diri manusia dapat dipahami dari kata  ( مابانفسهم)   yang terdapat pada ayat tersebut dapat diterjemahkan dengan “apa yang terdapat dalam diri mereka”. Kata ini terdiri dari dua unsur pokok yaitu nilai-nilai yang dihayati dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan antara nilai yang dihayati dan iradah (kehendak) dapat menciptakan kekuatan pendorong dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu, seperti perubahan sosial.

Terdapat faktor yang mempercepat proses perubahan sosial diantaranya, adanya nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk memperbaiki kehidupannya, keinginan untuk maju, adanya orientasi masa depan dan nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk memperbaiki kehidupannya termasuk dalam kata (مابانفسهم) yang terdapat pada ayat 11 surah al-Ra’d tersebut.

Pada hakikatnya perubahan sosial adalah perubahan atau transformasi kesadaran, kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran untuk mencerahkan, membebaskan diri atau jiwa dari kebodohan, penindasan, rasa malas dan putus asa dan dari segala bentuk simbol-simbol zhulumat (kegelapan dan kezaliman) menuju nur (cahaya) yang terang.

Penulis: Ita Janurita (Mahasiswa IAIN Syekh Nurjati Cirebon)
Editor: Suciyadi Ramdhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *