Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan budaya, suku bangsa, ras, etnis, agama, serta bahasa daerah. Menurut data dari Kementerian Luar Negeri tahun 2018, penduduk Indonesia saat ini mencapai 253 juta jiwa dengan lebih dari 360 suku bangsa dan 718 bahasa daerah yang beragam (Labbineka Kemendikbud, 2019).
Keragaman ini tersebar di wilayah seluas 1.904.569 km2, termasuk daratan dan perairan, dengan sekitar 17.508 pulau yang terhampar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia hanya berada di bawah China, India, dan Amerika Serikat. Meskipun demikian, Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat demokrasi yang tinggi, menduduki peringkat ketiga setelah India dan Amerika Serikat.
Kekayaan keragaman ini sebenarnya telah menciptakan nilai-nilai toleransi yang kuat, bahkan melekat dalam budaya setiap daerah. Sebuah penelitian tentang ‘Dinamika Moderasi Beragama di Indonesia’ oleh Fitriyana dkk. pada tahun 2020 menyoroti nilai-nilai yang menyatukan dan bisa diambil sebagai contoh.
Dalam penelitian ini, beberapa contoh menarik mencakup sikap akomodatif masyarakat terhadap kebudayaan lokal di Ternate, penerapan filosofi hidup bersama dan hukum adat sebagai penghubung antar umat beragama di Maluku, serta penerapan konsep “siri” (rasa malu/harga diri/harkat martabat kemanusiaan) sebagai pendorong moderasi di Makassar.
Di samping itu, empat pilar harmoni masyarakat di Bangka, inovasi Majelis Umat Beragama (MUB) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) oleh kepala daerah untuk menciptakan kerukunan di Bekasi, serta peran modal sosial dalam membangun kebersamaan di Bali, juga menjadi contoh praktik baik yang membantu membentuk pandangan bahwa Indonesia adalah negara yang menghargai toleransi.
Kementerian Agama, seperti yang diuraikan oleh Burhani dkk. pada tahun 2020, merilis Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) Indonesia pada tahun 2021. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, indeks KUB termasuk dalam kategori tinggi.
Temuan ini juga didukung oleh penelitian Setara Institute pada tahun 2020 yang menunjukkan peningkatan dalam indeks toleransi masyarakat Indonesia. Prestasi ini tak lepas dari peran semua pihak dalam mendorong harmoni antar umat beragama.
Perlu ditekankan pula bahwa penyebaran agama di Indonesia dilakukan tanpa konflik besar atau peperangan atas nama agama. Semua umat beragama hidup berdampingan dengan damai, dan semangat ini terefleksi dalam arsitektur rumah ibadah yang menerima pengaruh corak dan motif dari agama lainnya tanpa masalah.
Meskipun setiap umat berpegang pada ajaran pokok agamanya, mereka tetap mampu berdialog dan berkolaborasi dengan yang berbeda. Bahkan tokoh-tokoh agama yang berbeda mampu bersatu melawan kolonialisme dan mendukung kesepakatan untuk memadukan agama dengan ideologi negara, Pancasila. Modal sosial menjadi dasar kuat dalam menjaga hubungan positif, empati, dan kerjasama antar kelompok beragam. Walaupun ada gesekan terkadang, hubungan ini umumnya didasarkan pada saling percaya, pandangan positif, dan menghindari prasangka negatif terhadap kelompok lain.
Konsep “Bhinneka Tunggal Ika,” yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu,” mencerminkan semangat persatuan di tengah keragaman agama, etnis, dan budaya di Indonesia. Semboyan ini mewakili bahwa meskipun beragam dalam segala hal, bangsa Indonesia tetap terikat dalam satu kesatuan di bawah bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semboyan ini berasal dari Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular pada abad ke-14.
Selama masa penjajahan, semangat kebhinekaan ini digunakan untuk memupuk semangat persatuan di kalangan bangsa Indonesia. Contohnya adalah Kongres Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang mencerminkan semangat bersatu dalam perbedaan tanpa memandang keberagaman.
Dalam konteks ini, toleransi memainkan peran sentral sebagai kunci dan jembatan untuk mewujudkan semangat persatuan. Walaupun demikian, keragaman juga menghadapi tantangan, terutama saat ada faktor pemicu seperti kontestasi politik, pemilihan kepala daerah, atau pemilihan presiden. Walaupun begitu, Indonesia tetap mempertahankan modal sosial yang positif dalam menjaga hubungan antar kelompok beragam.
Penulis: Istiqomah
Editor: Suciyadi Ramdhani