Membangun Spiritualisme Mudik

Ilustrasi mudik lebaran bersama keluarga (freepik.com)

Mudik merupakan ritualitas tahunan yang dilakukan umat Islam dalam menyambut hari raya Idulfitri 1444 H. Banyak umat Islam yang pulang ke kampung halaman atau desa dengan tujuan untuk merajut kembali tali silaturahmi antarsesama tetangga di daerah.

Pada umumnya, mudik selalu diidentikkan dengan materialisme, yakni dengan membawa barang-barang seperti pakaian, uang, dan makanan untuk diberikan kepada tetangganya. Secara filosofis, makna mudik sejatinya tidak harus selalu dengan materialisme, melainkan juga harus lebih menekankan pada perubahan perilaku dan etika umat Islam. Ketakwaan dan keimanan itulah hal yang jauh lebih signifikan untuk menciptakan dan membangun rasa ukhuwah Islamiyah.

Pada sisi lain, spiritualisme Ramadan merupakan makna yang lebih berarti daripada mudik dengan mengedepankan pada materialisme. Mudik sudah seharusnya dimaknai sebagai upaya dalam menjalin tali kasih kepada sesama dan  untuk di jalan Allah Swt. Hal-hal itulah yang paling berarti dalam kehidupan umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.     

Agama Islam merupakan agama yang memiliki kekuatan imani untuk  menyucikan kehidupan batin. Dengan selalu menjaga jiwa yang bersih dan suci akan menambah ketakwaan kepada Allah Swt. Dengan demikian, kebajikan religius pertama adalah terletak pada ketulus-ikhlasan yang mendalam.

Sebagaimana dikatakan Alfred Whitehead dalam karyanya “Religion in the Making” (1996), bahwa agama adalah daya keyakinan yang menyucikan hidup batin.

Jika umat Islam mampu menjalin hubungan diri dengan “energi suci” (divine energy), yakni dengan Tuhannya. Melainkan juga,  jika saja umat Islam selalu terbuka, lebih-lebih aktif menjalin ke energi suci yang datang dari Tuhan, maka ia akan mengalami “katarsis spiritual” menemukan jati dirinya dan mampu memahami kebenaran sejati mengenai dunia. Fitrah manusia sejatinya bisa kembali dengan selalu memperbaiki perbuatan, menciptakan kejujuran, tidak saling menghina, membenci di antara satu sama lain.

Dalam konteks ini, perlu saya tegaskan bahwa  untuk kembali ke fitrah manusia yang suci, tidak hanya cukup dengan memberikan sedekah, zakat fitrah, zakat mal atau pemberian yang berupa materi lainnya, bahkan dengan ucapan minta maaf atau minal aidin wal faizin. Melainkan dengan bukti nyata, umat Islam harus selalu membangun kesadaran dalam dirinya sifat-sifat yang terpuji dan spiritualisme yang tinggi serta ketakwaan dan keimanan kepada Allah Swt. Spiritualisme menjadi salah satu langkah bagaimana membersihkan diri dari jiwa-jiwa yang kotor, dengan hancurnya sendi-sendi demokrasi, dan pilar peradaban bangsa Indonesia.

Maka dari itu, sudah semestinya jika mudik spiritual lebih di kedepankan daripada mudik materialisme. Kedatangan hari raya Idulfitri 1444 H saat ini merupakan momentum yang paling tepat bagi bangsa Indonesia, untuk menciptakan iklim saling memaafkan dan memperbaiki segala perilaku yang tidak etis, terutama oleh elite politik dan anggota. Janganlah menampakkan harta kekayaan dan gedung yang mewah. Akan tetapi, tunjukkanlah sikap dan tauladanmu untuk mampu menyejahterakan seluruh umat Islam dan menciptakan kebaikan. Berlomba-lombalah melakukan kebaikan untuk umat Islam, bukan berlomba-lomba untuk kepentingan individu maupu kelompokmu.

Dengan demikian, mudik spiritual bagi pejabat negara, elite politik, dan seluruh komponen masyarakat Indonesia ini lebih penting sebagai upaya memberikan suatu bentuk dalam membangun kesadaran untuk menghilangkan nalar materialisme atau nalar politik, melainkan agar para pejabat negara dan elite politik lebih mengedepankan pada nalar spiritualisme, batin yang bersih nan suci, yang jauh dari perilaku koruptif dan jahat. Karena saat inilah yang dibutuhkan bangsa Indonesia untuk memperbaiki moral pejabat negara elite politik dan seluruh umat Islam di Indonesia dalam menyambut hari raya Idulfitri 1444 H.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *